Secara umum masyarakat Indonesia mudah sekali untuk jatuh hati terhadap berbagai hal yang terbangun oleh hal lain, misalnya: Menyukai merk tertentu karena tetangganya atau saudaranya juga memakai, atau bahkan tokoh tertentu, atau artis tertentu juga memakai, terlebih kalau menyangkut soal merk kendaraan atau elektronik, tentu ini semua tidak lepas dari peran periklanan yang terus mencuci otak masyarakat kebanyakan yang belum terlanjur kaya agar seluruh jerih payahnya dibelikan barang, entah penting atau tidak. Yang penting terlihat wah..
Maka jangan heran kalau pemerintah terus mengkampanyekan agar masyarakat cinta produk Indonesia, sementara yang teriak lantang justru belanja kebutuhan hampir seluruhnya di luar negeri. Padahal untuk mengajak masyarakat kita cinta akan produk sendiri sungguhlah sederhana, para pejabat terbiasa membeli dan memakai produk lokal, bukan hanya sekedar propaganda, tapi dilaksanakan secara menyeluruh. Membuat kebijakan yang pasti demi terwujudnya mutu produk yang tidak kalah bersaing dengan produk luar, merangsang daya beli beli dan produktifitas masyarakat dengan banyak cara yang bisa dikembangka secara nasional. Dan kalau sudah ada tatanan yang rapih, sistematis dan tidak hanya untuk jangka pendek, akan tetapi terus diupayakan menjadi program rakyat yang bekesinambungan. Sasaranya sudah jelas di depan mata: Indonesia yang punya banyak hari raya, tidak terus-terusan disuguhi aneka supply and demand atau antara permintaan dan ketersediaan barang yang tidak seimbang hingga kerap terjadi lonjakan harga, yang lagi-lagi rakyat kecil selalu menjerit. Dan itu selalu terulang dan terulang tanpa penyelesaian jangka panjang, hingga datangnya suatu masa di mana negeri Indonesia dalam tahun demi tahun adalah kesetabilan ekonomi semata, dan kalau ekonomi negara saja sudah stabil, tentu saja daerah akan dengan sendirinya berkembang dan menata diri.
Desa Tlaga, sebuah desa kecil dari jutaan desa di tanah air memiliki kesempatan yang sama untuk menopang kemajuan bangsa dengan kemampuan yang dimiliki. Mulailah dari hal di sekitar kita saja, soal ekonomi keluarga yang saat ini banyak ditopang oleh non hasil bumi. Tidak ada regenerasi di bidang pertanian dan perkebunan desa, dan ini sangat menghawatirkan, sehingga percuma saja slogan, kampanye maupun ajakan untuk cinta produk lokal, kalau dari desa sendiripun tidak ada yang bisa dikelola. Satu contoh kecil adalah soal buah, beberapa rumah penduduk memiliki halaman atau pekarangan yang biasanya ditanami pohon rambutan, atau nangka, atau duku, atau buah apapun, tapi hanya sekedar nanam untuk pandek atau penghias pekarangan. Kebanyakan dari kita tidak sampai berpandangan ke depan untuk menanam beberapa pohon di kebun, atau lahan yang tidak produktif. Karena jika mengandalkan penjualan kayu, dan ini yang terjadi beberapa tahun belakangan di desa ini, maka bukan tidak mungkin, petani, dan warga kebanyakan akan menunggu pohon kecil hingga tiba saatnya untuk ditebang, dan barangkali mereka tidak menikmati hasilnya. karena pohon kayu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa tebang dan bernilai jual.
Pohon salak hanya ada 3 rumpun di belakang rumah, pohon petai hanya ada 1 pohon di kebun sana, pohon duku hanya ada 2 pohon di samping rumah, dan tiap warga belum tentu menanam semua, dan yang mereka ada sekarangpun adalah tanaman nenek moyang. Kalau saja tiap warga yang memilik lahan perkebunan atau lahan kosong mau menanam tanaman buah, tentu saja saat ini Masyarakat Tlaga memiliki cirikhas, rambutan tlaga, bukanlah rambutan aceh. Bukanlah jambu bangkok, melainkan Jambu Tlaga, bukanlah duku palembang, melainkan dukuwuni, khas Tlaga. Ubi tlaga, bukan ubi cilembu...
Padahal kalau semua kebun berisi tanaman buah yang beraneka ragam, tentu saja pasar akan semakin ramai, orang kota akan berbondong ke desa untuk memborong buah ketika panen, dan inilah idealnya roda ekonomi berputar hingga kita bisa percaya diri turut membangun negeri dengan membangun cirikhas meski itu dari sebuah buah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar