Krisis pangan bukan hal yang mencengangkan bagiku yang lahir dan besar di pelosok, bukan berarti sering menghadapi ketiadaan pangan, justru soal pangan kami dari desa tak pernah mengalami kekurangan. Kalau soal pangan untuk pemenuhan dasar gizi seperti karbohidrat, protein dan vitamin semuanya tersedia di desa. Asal apa?
mau usaha untuk menanam, lahan kosong tersedia di segala sudut perkara milik siapa adalah nomor sekian, karena yang paling terpenting adalah soal idealisme. Andai ada tuan tanah yang punya lahan tidur berhektar-hektar, untungnya di desaku tidak ada type tersebut, maka ia akan mengumpulkan para pemuda untuk menyiapkan lahan, bibit dan alat. Benih padi melimpah, benih palawija di mana-mana dari mulai cabai sampai kacang-kacangan, dari muluai sayur hingga mayur. Untuk pengadaan protein bukan pula menjadi perkara sulit, karena ayam kampung, kambing maupun ikan air tawar akan melengkapi gizi yang ada untuk lebih sempurna. Untuk buah-buahan juga bukan hal yang menyeramkan untuk tidak melakukan penanaman pada lahan yang subur seperti di desa ini.
Maka untuk pengadaan pangan hanya untuk lingkup desa ini tentu bukan proyek maha karya yang harus menelan milyaran rupiah ataupun harus gunting pita saat pembukaanya. Semua hanya pada soal kemauan setiap individu untuk tidak tergantung pada produk pertanian dari negara tertentu. Tanah kita sangat bisa untuk memenuhi semua unsur pangan dan gizi yang diperlukan untuk masyarakat. Negara agraris tapi rawan pangan?
oh.. kemon....
Apalagi kalau sampai ada yang bilang tikus mati di lumbung padi, mudah-mudahan tikus itu cuma karena kekenyangan. Apa lantas serta merta penduduk desa berbondong-bondong menanam cabai karena tergiur harga cabe belakangan ini yang fantastis. Monggo dipersilahkan, tanamlah cabai di pekarangan, di pot, di kebun, di pematang sawah tapi siapa jamin kalau massa panen tiba harga cabe masih mahal.
Mahalpun jadi polemik, kok..
Mahal, seharusnya petani sumringah punya pendapatan lebih dari biasanya. Tapi lagi-lagi, ketika harga komiditas ada peningkatan, lucunya semua barang-barang latah naik entah dari mana perhitungan dan sebab-sebab menjadi barang mahal. Dan celakanya petani dan rakyat kecil yang selalu menjerit dengan kenaikan harga pangan.
Yuk menanam...
mau usaha untuk menanam, lahan kosong tersedia di segala sudut perkara milik siapa adalah nomor sekian, karena yang paling terpenting adalah soal idealisme. Andai ada tuan tanah yang punya lahan tidur berhektar-hektar, untungnya di desaku tidak ada type tersebut, maka ia akan mengumpulkan para pemuda untuk menyiapkan lahan, bibit dan alat. Benih padi melimpah, benih palawija di mana-mana dari mulai cabai sampai kacang-kacangan, dari muluai sayur hingga mayur. Untuk pengadaan protein bukan pula menjadi perkara sulit, karena ayam kampung, kambing maupun ikan air tawar akan melengkapi gizi yang ada untuk lebih sempurna. Untuk buah-buahan juga bukan hal yang menyeramkan untuk tidak melakukan penanaman pada lahan yang subur seperti di desa ini.
Maka untuk pengadaan pangan hanya untuk lingkup desa ini tentu bukan proyek maha karya yang harus menelan milyaran rupiah ataupun harus gunting pita saat pembukaanya. Semua hanya pada soal kemauan setiap individu untuk tidak tergantung pada produk pertanian dari negara tertentu. Tanah kita sangat bisa untuk memenuhi semua unsur pangan dan gizi yang diperlukan untuk masyarakat. Negara agraris tapi rawan pangan?
oh.. kemon....
Apalagi kalau sampai ada yang bilang tikus mati di lumbung padi, mudah-mudahan tikus itu cuma karena kekenyangan. Apa lantas serta merta penduduk desa berbondong-bondong menanam cabai karena tergiur harga cabe belakangan ini yang fantastis. Monggo dipersilahkan, tanamlah cabai di pekarangan, di pot, di kebun, di pematang sawah tapi siapa jamin kalau massa panen tiba harga cabe masih mahal.
Mahalpun jadi polemik, kok..
Mahal, seharusnya petani sumringah punya pendapatan lebih dari biasanya. Tapi lagi-lagi, ketika harga komiditas ada peningkatan, lucunya semua barang-barang latah naik entah dari mana perhitungan dan sebab-sebab menjadi barang mahal. Dan celakanya petani dan rakyat kecil yang selalu menjerit dengan kenaikan harga pangan.
Yuk menanam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar