gambar: cumbri.com |
Kicau burung di pagi hari di dahan-dahan tanaman pekarangan rumah ataupun di sepanjang jalan banyak terlihat aneka macam dan berbagai ukuran. Lincahnya mereka melompat ke sana ke mari sambil bernyanyi, dan sangat pas dengan negeri dongeng yang pernah saya dengar maupun baca di buku cerita.
Ketika sore menjelang burung-burung sawah riuh rendah pertanda senjakala datang dan sepertinya mereka mengundang anggota keluarganya agar segera masuk ke sarang mereka. Ada kuntul, blekok, puyuh, kurwok dengan kicau yang berbeda-beda menambah suasana mencekam ketika menjelang malam yang terjadi di sebuah desa pelosok. Ketika malam benar-benar tiba, burung hantu bersahutan dari pohon yang satu dengan hantu di pohon lain.
Burung srikatan, di benak saya adalah burung bambu karena komunitasnya selalu di rimbunan pohon bambu di belakang rumah. Mereka burung yang sangat cantik, mungil, dengan warna dasar hitam kecolatan dengan corak putih di beberapa sayapnya. Ia burung periang dan selalui berkicau meracau dan sulit diikuti dengan siulan. Lebih dari itu, yang mengesankan adalah ia burung yang sangat disiplin, bayangkan saja sebelum ayam jantan berkokok kicau burung ini sudah terdengar. Jam 4 pagi adalah waktu bangun mereka dan memulai kicauan dan disusul kicau burung srikatan lainnya. Saya tahu itu karena ketika bulan puasa ketika menjelang sahur pasti selalu terdengar kicau mereka dan di jam-jam yang sama ketika sahur. Keraguan tentang mereka yang mungkin terbangun karena aktifitas warga yang memasak, ternyata salah, ketika bukan bulan puasapun mereka sudah bangun pagi sekali, saat saya terjaga.
Kehidupan berubah, pertumbuhan penduduk meningkat, dengan berbagai sifat dan watak yang beragam. Saya pun pernah tergoda untuk memanjat pohon bambu yang sangat sulit karena banyak lugut (rambut bambu gatal) dan tanpa dahan untuk mengambil sarang burung yang menjuntai dengan anak burung yang siap mekar (mua). Tapi sungguh sulit memelihara burung srikatan tersebut, karena makanannya harus ulat kecil tertentu maka tidak sampai 5 hari, empat anak burung itu mati kaku ketika saya dapati lepas pulang sekolah. Demikianlah, anak-anak seusia saya mulai berexplorasi dan mencoba hal-hal baru dengan alam sekitar.
Hobi saya tidak berkelanjutan terhadap pemeliharaan satwa burung, terutama burung srikatan ini. Saya lebih menyukai mereka ada di sekitar rumah yang selalu membangunkan orang-orang tidur atau menemani seseorang yang ketika bangun pagi belum ada teman untuk diajak bicara.
Saya mulai tidak memperhatikan burung itu lagi menyusul aktifitas remaja yang mulai sibuk dengan sekolah, persahabatan, petualangan, bermain dan sebagainya.
Baru teringat ketika menjelang dewasa, burung-burung yang selalu ada di sekitar rumah tidak lagi terdengar, bahkan burung bangau di sawah yang membantu petani dalam hal hama kepiting sawah maupun belalang ikut raib. Tidak ada lagi suara kurwok ketika datang senja, tak pernah lagi terdengar suara kicau merdu burung srikatan di rimbunan bambu.
Saat ini, ketika saya sudah punya anak dan mereka beranjak besar hanya bisa mengabarkan tentang burung yang pernah hidup sekitar 20 tahun yang lalu. Mereka kini hanya melihat burung prenjak yang hanya singgah sesekali di pohon mangga atau pagar tanaman di samping rumah.
Andai saja ada migrasi burung srikatan ke Tlaga dari manapun itu datangnya tentu saya akan larang orang-orang mengganggu mereka.
Pasti bukan cuma saya seorang, warga Tlaga pasti rindu kuntul/bangau baris di pematang sawah.
Demikianlah rasanya memiliki kehilangan.
satwa yang masih tersisa, marilah kita jaga baik-baik keberadaanya. Mereka diciptakan tidak lain pasti punya maksud, yang salah satunya adalah keseimbangan alam.
semoga segera hadir Rawen di sini
BalasHapussilakan mampir di sini mas Kis Wong
BalasHapushttp://slalubelajarmembaca.blogspot.com/2011/06/tentang-kisahku.html
hehehe... pak guru Tris. siap....
BalasHapusNgedap men maca jen...haklah..min
BalasHapus